Faktor
Lingkungan
Bandura dalam teori social
learning berasumsi bahwa
perilaku dan sistem nilai seorang remaja terbentuk oleh sekumpulan interaksi
yang kompleks antara hubungan-hubungan sosial interpersonal. Perilaku
bermasalah pada remaja, termasuk merokok, merupakan hasil interaksi antara
variabel interpersonal seperti kepribadian, sikap, dan perilaku, dengan sistem
lingkungan, termasuk lingkungan keluarga dan teman sebaya (Jessor & Jessor
dalam Richardson dkk, 2002).
Faktor lingkungan keluarga meliputi struktur
keluarga, riwayat, pola hubungan orang tua-anak, pola asuh, dan perilaku
merokok orang tua. Struktur keluarga memainkan peran yang cukup signifikan
dalam hal ini, misalnya dalam sebuah penelitian terungkap bahwa perceraian
orang tua meningkatkan resiko perilaku ini (Gil dkk dalam Gullota & Adams,
2005). Di samping struktur keluarga, riwayat keluarga juga memainkan peran yang
tidak kalah pentingnya. Keluarga dengan riwayat perilaku kejam, penyia-nyiaan,
dan pengabaian berkontribusi terhadap pemakaian dan penyalahgunaan zat pada
remaja, termasuk perilaku merokok. Pola interaksi dan hubungan dalam sebuah
keluarga merupakan faktor yang juga berkontribusi terhadap perilaku merokok,
misalnya dalam keluarga dengan tingkat peraturan dan pengawasan yang lebih
ketat akan menurunkan tingkat perilaku merokok secara signifikan (Guo dkk dalam
Gullota & Adams, 2005). Pola asuh adalah faktor lain yang mempengaruhi
perilaku merokok. Secara lebih spesifik dapat dijelaskan bahwa perilaku merokok
berhubungan dengan pola asuh permisif dan rendahnya tingkat kelekatan. Selain
itu, penelitian-penelitian terdahulu menghasilkan temuan bahwa perilaku merokok
orang tua mempunyai pengaruh yang kuat terhadap perilaku merokok remaja.
Conrad, Flay, dan Hill (dalam Richardson dkk, 2002) menemukan bahwa 7 dari 13
penelitian yang direview, perilaku merokok orang tua secara signifikan menjadi
prediktor munculnya perilaku merokok pada usia remaja.
Perilaku merokok juga dapat disebabkan oleh
pengaruh kelompok sebaya (peer group). Kelompok sebaya seringkali menjadi faktor utama dalam masalah
penggunaan zat oleh remaja (Richardson dkk, 2002). Selama masa remaja, seorang
individu mulai menghabiskan lebih banyak waktu dengan teman sebayanya daripada
dengan orang tua. Hal ini berarti bahwa teman sebaya mempunyai peran yang
sangat berarti bagi remaja, karena masa tersebut remaja mulai memisahkan diri
dari orang tua dan mulai bergabung pada kelompok sebaya. Kebutuhan untuk
diterima sering kali membuat remaja berbuat apa saja agar dapat diterima
kelompoknya dan terbebas dari sebutan “pengecut” dan “banci” (Komalasari &
Helmi, 2000). Memiliki teman-teman yang merokok memprediksi kebiasaan merokok
pada seorang individu (Davison dkk, 2006). Sikap teman sebaya terhadap
penggunaan berbagai zat termasuk nikotin dapat mempengaruhi individu untuk
menggunakan zat tersebut. Dalam sebuah penelitian longitudinal ditemukan bahwa
para pemuda New York yang pernah berhubungan dengan teman sebaya yang merokok
atau memakai mariyuana lebih mungkin untuk memakai mariyuana dalam rentang
kehidupan mereka (Brook dkk dalam Gullota & Adams, 2005). Harlianti (dalam
Komalasari & Helmi, 2000) menemukan bahwa lingkungan sebaya memberikan
sumbangan efektif sebesar 33,048%. Dalam penelitian lain terungkap bahwa identifikasi
kelompok sebaya di kelas 7 memprediksi kebiasaan merokok di kelas 8. Meskipun
pengaruh teman-teman sebaya adalah penting dalam pengambilan keputusan yang
dilakukan para remaja untuk menggunakan suatu zat, namun mereka yang memiliki
rasa efektivitas diri yang tinggi menjadi kurang terpengaruh oleh teman-teman
sebaya mereka. Para remaja yang memiliki kualitas tersebut setuju dengan
pernyataan seperti “Saya dapat membayangkan diri saya menolak memakai tembakau
bersama pelajar seusia saya dan mereka tetap menyukai saya (Stacy dkk dalam
Davison dkk, 2006).
Di samping karena pengaruh teman sebaya dan
lingkungan keluarga, perilaku merokok juga dapat muncul sebagai akibat dari
iklan di media massa. Iklan rokok di berbagai tempat dan media massa yang saat
ini makin merajalela sangat menarik bagi para remaja (Widiyarso, 2008). Menurut
López dkk (2004), beberapa penelitian telah menghasilkan temuan adanya hubungan
yang cukup signifikan antara keterpaparan terhadap iklan rokok dengan perilaku
merokok pada remaja. Melihat iklan di media massa dan elektronik yang
menampilkan gambaran bahwa perokok adalah lambang kejantanan atau glamour, membuat remaja seringkali terpicu untuk
mengikuti perilaku seperti yang ada dalam iklan tersebut (Mu’tadin, 2002).
Iklan rokok Joe Camel telah dituduh bertanggung jawab menyebabkan 3,5 juta
anak-anak di Amerika untuk merokok antara tahun 1988-1998 (Pierce dkk dalam
López dkk, 2004). Iklan rokok terbukti dapat menghambat usaha orang tua
melarang anak-anak mereka untuk tidak merokok dan mempengaruhi perilaku
anak-anak muda untuk tetap merokok meski orang tua mereka melarangnya
(Mu’tadin, 2002).
http://rizalnursetyo.blogspot.co.id/2012/06/v-behaviorurldefaultvmlo_9865.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar